HarmoniPost.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dan memastikan keberlanjutan pembangunan, Kabupaten Belitung Timur (Beltim) tengah gencar mengkampanyekan penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) di sektor makanan dan/atau minuman.
Bagi banyak orang, pajak mungkin terdengar sebagai hal yang kerap disisihkan, tetapi bagi Rajo Ameh, salah satu warga dari komunitas Minang perantauan [KMP] yang cukup berpengaruh di Beltim, pajak justru menjadi kunci untuk keberhasilan ekonomi daerah.
Sebagai daerah yang tengah berkembang pesat, Beltim perlu menggali lebih dalam potensi pajaknya. Namun, dengan tingkat kesadaran pajak yang masih rendah di kalangan pelaku usaha dan masyarakat, penerapan pajak ini bukanlah perkara mudah.
Namun, ada angin segar yang datang dari keluarga Minang perantauan yang, dalam falsafah hidup mereka—”dima bumi dipijak disinan langiak dijunjuang”—menegaskan pentingnya mendukung kebijakan pajak sebagai bentuk kontribusi terhadap tanah perantauan mereka.
Rajo Ameh, yang mewakili Organisasi Keluarga Minang Perantauan [KMP] bersama para pengembang usaha kuliner di Beltim, menegaskan bahwa komunitas Minang perantauan siap membantu mensukseskan implementasi pajak daerah ini.
Bagi mereka, pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk tanggung jawab moral untuk membangun daerah yang telah memberi mereka kesempatan.
Sosialisasi yang Terus Bergulir
Menurut data dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Beltim, upaya sosialisasi yang telah berlangsung sejak September 2025 telah melibatkan 25 rumah makan dan restoran yang telah disertifikasi dan memenuhi kriteria untuk dikenakan pajak 10%.
Sosialisasi ini difokuskan pada pelaku usaha dengan omzet besar dan yang sudah menggunakan mesin kasir agar proses pemungutan pajak dapat lebih terstruktur dan transparan.
Namun, meskipun pemerintah daerah dan sejumlah tokoh lokal telah bekerja keras, ada tantangan besar yang harus dihadapi: ketidaktahuan dan kekhawatiran pelaku usaha tentang bagaimana sistem ini akan berjalan. Bahkan, beberapa pengusaha mengaku takut akan dampak dari pajak yang mereka anggap sebagai “beban baru” di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
“Kami selalu siap mendukung pemerintah, tetapi kami juga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pajak ini. Kami khawatir ini akan menjadi beban tambahan yang justru akan membuat konsumen lari,” kata salah seorang pelaku usaha kuliner yang enggan disebutkan namanya.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh konsumen, yang merasa bahwa pajak tersebut mungkin akan berdampak pada harga makanan dan minuman yang mereka beli.
Kolaborasi Pemerintah dan Tokoh Lokal
Namun, melalui kolaborasi antara BPKPD dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Beltim, yang juga terlibat dalam sosialisasi ini, ada harapan bahwa transparansi dan pemahaman yang lebih baik akan tercipta.
Kejaksaan Negeri Beltim, yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara, Wika Hawasara, dan Mario Samudera Siahaan, ikut serta dalam memberikan pengawasan dan memastikan bahwa penerapan pajak berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Pajak ini bukanlah untuk mempersulit pelaku usaha, tetapi justru untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Wika Hawasara, menekankan pentingnya pembinaan hukum dalam implementasi pajak daerah.
Rajo Ameh juga menambahkan, bahwa komunitas Minang perantauan sangat memahami bagaimana pajak daerah memiliki peran strategis dalam pembiayaan pembangunan daerah. Bagi mereka, kontribusi melalui pajak adalah bagian dari filosofi yang telah lama mereka anut: “Dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.”
“Pajak yang dibayarkan masyarakat akan kembali kepada kita dalam bentuk pembangunan yang lebih baik. Ini adalah cara kita berpartisipasi dalam kemajuan daerah yang telah memberikan kami banyak peluang,” kata Rajo Ameh dengan tegas.
Tantangan dan Peluang
Di balik dukungan yang datang dari banyak pihak, tantangan terbesar dalam penerapan pajak daerah ini terletak pada implementasi yang efektif dan mengatasi kesalahpahaman yang ada. Salah satu hambatan yang paling jelas adalah edukasi yang belum sepenuhnya merata di kalangan pelaku usaha dan konsumen.
Ivan Triana, Kepala Bidang Penetapan dan Penagihan Pajak BPKPD Kabupaten Beltim, mengungkapkan bahwa banyak masyarakat yang salah memahami siapa yang sebenarnya dikenakan pajak 10%.
“Pajak ini bukan dibebankan pada pelaku usaha, melainkan pada konsumen akhir. Pelaku usaha hanya bertugas memungutnya dan menyetorkannya ke kas daerah,” jelas Ivan.
Meski begitu, dia menyadari bahwa sistem yang lebih canggih, seperti integrasi mesin kasir dengan aplikasi pajak daerah, menjadi solusi untuk meningkatkan transparansi. Dengan sistem ini, transaksi akan terpantau secara real-time dan membantu mengurangi peluang kebocoran pendapatan pajak.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem ini dapat berjalan mulus di semua sektor kuliner, mengingat masih banyak usaha kecil yang belum memiliki teknologi seperti itu. Keberhasilan sistem ini akan sangat bergantung pada sejauh mana BPKPD dapat memberikan pelatihan dan dukungan bagi para pelaku usaha kecil.
Harapan di Tengah Proses
Plt Kepala BPKPD, Ira Elvia Kirana, menambahkan bahwa sosialisasi ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang sama antara masyarakat dan pelaku usaha. Tujuannya adalah agar penerapan pajak ini tidak menambah beban, tetapi justru menjadi langkah bersama untuk menciptakan keberlanjutan pembangunan.
“Pajak daerah adalah sumber daya yang penting untuk membangun infrastruktur dan memberikan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Tanpa kontribusi tersebut, kami tidak bisa berharap banyak dalam mempercepat pembangunan daerah,” ungkap Ira.
Di sisi lain, Rajo Ameh menekankan pentingnya kesadaran bersama, bahwa pajak adalah investasi jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat Belitung Timur. Komunitas Minang perantauan, yang tersebar di seluruh Indonesia, siap menjadi garda terdepan dalam mensukseskan kebijakan ini.
“Ini bukan hanya tentang kewajiban, tapi tentang rasa tanggung jawab kami sebagai warga yang sudah merasakan manfaat dari pembangunan daerah. Kami akan mendukung penuh agar pajak ini dapat diterapkan dengan baik dan membawa perubahan positif bagi Belitung Timur,” tutup Rajo Ameh.
Penerapan pajak daerah di Belitung Timur memang memiliki tantangan yang tidak sedikit. Namun, dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan warga, harapan untuk menciptakan sistem perpajakan yang transparan dan adil semakin besar.
Jika berhasil, pajak daerah ini bukan hanya akan menjadi alat pembiayaan pembangunan, tetapi juga simbol dari rasa tanggung jawab sosial yang mendalam. | HarmoniPost.Com | */Redaksi | *** |


oke