HarmoniPost.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Peta kemiskinan Indonesia tahun 2025 kembali menyibak ketimpangan lama yang belum terselesaikan. Data terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS mengungkap jurang perbedaan kesejahteraan yang mencolok antara provinsi di timur dan barat Indonesia.
Angka kemiskinan nasional memang turun menjadi 8,47 persen, namun sorotan utama publik justru tertuju pada Papua Pegunungan yang mencatatkan angka kemiskinan tertinggi sebesar 30,03 persen, sementara Bali menempati posisi terendah dengan hanya 3,72 persen.
Menanggapi data ini, Rajo Ameh, Direktur Eksekutif Pinang Merah Foundation yang kerap vokal dalam isu ketimpangan dan pembangunan daerah, menyatakan bahwa penurunan angka nasional belum tentu merepresentasikan perbaikan yang merata.
“Data ini adalah cermin realitas ganda yang kita hadapi sebagai bangsa. Di satu sisi, kita melihat Bali dan Kalimantan Selatan mencatat angka kemiskinan yang rendah, tapi di sisi lain, Papua Pegunungan dan beberapa wilayah timur Indonesia masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural,” ujar Rajo Ameh kepada media, Sabtu (5/10).
Menurutnya, persoalan kemiskinan tidak bisa dilihat semata-mata dari angka, melainkan harus dikaitkan dengan akses terhadap layanan dasar, konektivitas wilayah, hingga ketimpangan distribusi anggaran pembangunan.
“Faktanya, wilayah seperti Papua Pegunungan secara geografis memang sulit dijangkau. Tapi bukan berarti kita membiarkannya tertinggal.
Harus ada keberpihakan nyata dalam desain kebijakan dan implementasi anggaran. Kalau tidak, angka 30 persen ini bukan sekadar statistik, tapi potret kegagalan negara,” tegas Rajo Ameh.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta jiwa.
Angka ini menurun dibanding September 2024 dan Maret 2024, yang menunjukkan adanya perbaikan. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ketimpangan antarwilayah masih sangat menganga.
Belitung Timur, salah satu kabupaten di wilayah barat Indonesia, juga masuk sorotan lantaran menunjukkan tren perbaikan cukup tajam dalam tiga tahun terakhir.
Meski belum masuk lima besar wilayah dengan kemiskinan terendah, kabupaten ini dinilai berhasil menurunkan angka kemiskinan melalui pendekatan lokal yang responsif.
“Belitung Timur bisa jadi contoh bahwa dengan pendekatan partisipatif dan fokus pada sektor-sektor potensial seperti pariwisata berbasis komunitas dan UMKM, daerah bisa perlahan keluar dari jerat kemiskinan,” tambah Rajo Ameh.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, sebelumnya menjelaskan bahwa garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, dengan garis kemiskinan rumah tangga sekitar Rp 2,87 juta. Ia juga mengingatkan pentingnya konteks lokal dalam membaca data.
Satu hal yang tak kalah penting adalah perbedaan mencolok antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Di perdesaan, kemiskinan berada di angka 11,03 persen, jauh lebih tinggi dibanding perkotaaan yang berada di angka 6,73 persen.
Bahkan, menariknya, tren kemiskinan perkotaan justru meningkat, sedangkan di desa mulai menurun.
Rajo Ameh pun menyebutkan bahwa tren ini merupakan sinyal kuat bahwa kemiskinan kini tak lagi identik dengan desa.
“Kita tak bisa lagi menutup mata bahwa urbanisasi tanpa perencanaan telah melahirkan kemiskinan jenis baru di kota-kota besar.
Warga datang ke kota membawa harapan, tapi pulang dengan beban. Ini soal daya tampung dan ketidaksiapan kota dalam menyediakan hunian layak, pekerjaan, dan pelayanan sosial,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Rajo Ameh menekankan bahwa peta kemiskinan 2025 bukan sekadar bahan laporan, tapi harus menjadi dasar perumusan ulang arah pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
“Selama pembangunan masih terpusat dan tidak berpihak pada wilayah tertinggal, angka akan turun sesaat, tapi ketimpangan tetap menganga. Kita butuh transformasi kebijakan, bukan sekadar penyesuaian data.” | HarmoniPost.Com | */Redaksi | *** |


oke