SELAMAT MENCOBLOS PADA 27 AGUSTUS 2025 DALAM PILKADA ULANG KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2025 SELAMAT MENCOBLOS DALAM PILKADA ULANG KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2025 DIREKSI & MANAGEMENT SERTA REDAKSI HARMONIPOST.COM ARTASARIMEDIAGROUP MENGUCAPKAN SELAMAT MENCOBLOS PADA 27 AGUSTUS 2025 DALAM PILKADA ULANG KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2025 REDAKSI HARMONIPOST.COM ARTASARIMEDIAGROUP EMAIL ; redaksi@harmonipost.com REDAKSI HARMONIPOST.COM ARTASARIMEDIAGROUP EMAIL ; redaksi@harmonipost.com SELAMAT MENCOBLOS DALAM PILKADA ULANG KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2025 SELAMAT MENCOBLOS PADA 27 AGUSTUS 2025 DALAM PILKADA ULANG KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2025

Mengapa ‘Gerakan Rakyat’ di Pati Sangat Masif?

HarmoniPostCom
18 Min Read
Foto ; bbc

HarmoniPost.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Perlawanan warga Pati, Jawa Timur menolak kebijakan Bupati Sudewo yang mereka sebut “semena-mena” dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%, tak lahir secara tiba-tiba, kata peneliti.

Jauh sebelum itu, bibit-bibit perlawanan dalam orang-orang Pati sudah muncul dari sosok Samin Surosentiko, komunitas adat Sedulur Sikep dan fenomena golput yang meluas pada Pilkada Pati tahun 2011.

Apakah aksi demonstrasi di Pati bisa menular ke daerah lain yang juga mengalami kenaikan pajak besar-besaran? Sejauh apa gerakan warga Pati akan berkembang setelah aksi unjuk rasa 13 Agustus lalu?

‘Kami sempat dijuluki massa bayaran’

“Saya yang sudah berusia 52 tahun, baru hari ini mendengar ontran-ontran [kehebohan] di Pati,” ungkap Suparni terperangah.

Warga Gunung Wungkal, Kabupaten Pati, ini sedang merantau ke pulau seberang, Sulawesi, untuk mengadu nasib. Di kampung halamannya, Suparni tak mendapatkan pekerjaan.

Perasaan sakit hati itulah yang mendasari Suparni mendukung rencana aksi demontrasi tersebut. Ia mengaku memberikan uang donasi tanpa ada paksaan dari siapa pun.

“Murni dari hati,” ucapnya meski tak menyebut berapa nominalnya.

Koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, Teguh Istanto, berkata total uang donasi yang masuk ke rekeningnya untuk menyokong “unjuk rasa menggulingkan Bupati Pati” mencapai jutaan rupiah.

Nominal itu tidak termasuk sumbangan uang tunai yang kelompoknya terima.

“Ada yang transfer dan tunai, yang tunai itu sekitar Rp6 juta. Kalau yang masuk rekening, belum saya hitung dan ini masih utuh sekitar Rp5 juta,” ujarnya.

Sedikit mundur ke belakang, Teguh mengatakan gerakan warga ini terjadi begitu saja. Tak ada persiapan atau perencanaan matang.

Hingga akhirnya muncul Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.

“Dalam aliansi itu sebenarnya banyak dari kami yang tidak saling kenal, namun sama-sama ingin melakukan aksi [unjuk rasa],” kata Teguh.

Teguh berkata, hanya ada satu hal yang menyatukan mereka: rasa kecewa pada Bupati Pati, Sudewo.

Teguh masih ingat betul ucapan Sudewo yang disebutnya menantang masyarakat ketika menanggapi penolakan kenaikan PBB-P2 sampai 250%.

Baginya, perkataan Sudewo terlalu arogan karena diucapkan oleh seorang pemimpin.

Sepanjang hidupnya menetap di Pati, Teguh mengaku baru pertama kali ini merasakan dorongan kebersamaan yang begitu kuat dari orang-orang setempat. Sebelumnya, dia hanya melihat aksi demontrasi berskala kecil.

“Tapi ini berbeda dan bahkan datang dari semua wilayah. Dan murni dari masyarakat,” ucapnya.

Pada awal-awal aksi, kata Teguh, sempat berhembus isu miring terhadap gerakan warga dan aliansi. Ada yang menyebut aksi mereka ditunggangi oleh gerombolan orang yang kalah pada Pilkada 2024.

Ada pula yang menjuluki mereka sebagai massa bayaran atau barisan sakit hati.

Tapi klaim-klaim itu segera terpatahkan begitu bantuan logistik berdatangan ke kantor pemerintahan Kabupaten Pati.

Persis di depan kantor itu sejumlah relawan yang kebanyakan ibu-ibu membantu menyortir donasi berupa makanan ringan, air mineral, sayur, dan buah.

“Kami membuka posko donasi untuk menepis narasi-narasi itu. Dan karena kami sebenarnya juga tidak punya dana gitu loh,” kata Teguh terkekeh.

“Lah sekarang untuk menyewa truk, pengeras suara, itu kan butuh uang.”

“Kemudian, kami mengundang atau mengajak orang, masak tidak memberikan minuman dan makanan?” ujar Teguh.

Pada hari ketiga penggalangan dana, situasi di depan kantor Bupati Pati sedikit memanas lantaran Satpol PP menyita logistik mereka.

Untung, kata Teguh, peristiwa yang terekam video itu viral di media sosial.

Dukungan pada warga malah mengalir deras.

“Penyitaan itu jadi blundernya pemerintah kabupaten Pati,” kata Teguh.

Di media sosial, tagar rakyat versus pemerintah yang disertai gambar salah satu inisiator aksi berhadap-hadapan dengan seorang pejabat Pemkab Pati, viral dan menjadi simbol perlawanan.

Sokongan pun makin meluas.

“Donasi yang datang itu dari warga Indonesia. Ada dari Pati, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, termasuk dari Papua,” kata Teguh.

“Hitungan kami, ada 16.000 dus air mineral. Juga uang beberapa juta dari warga Pati yang menjadi TKI,” ujarnya.

Bantuan logistik lainnya berasal dari pengusaha roti, petani dengan memberikan pisang, semangka, dan buah-buahan lainnya.

Ribuan orang tumpah ruah di depan kantor bupati

Tak ada yang menyangka, ribuan orang bakal datang dan menggeruduk kantor Bupati Pati, 13 Agustus lalu, kata Teguh.

Pasalnya, jelang aksi unjuk rasa, Sudewo sempat menyampaikan permintaan maaf atas ucapannya yang menyinggung warga Pati. Dia juga sempat mengundang beberapa orang yang diklaim inisiator demo yakni Yayak Gundul.

Pada pertemuan itu, Yayak Gundul yang mengeklaim diri sebagai pemimpin massa aksi telah berdamai dengan bupati dan tidak akan menggelar demonstrasi.

Hanya saja, tak ada yang tahu ke mana arah angin di Pati akan berhembus saat itu.

Sejak subuh, 13 Agustus lalu, warga dari berbagai wilayah mulai memadati kawasan Alun-alun Pati. Mereka turut membawa dan meletakkan kotak jenazah bertuliskan “Keranda Penipu” di depan gerbang kantor bupati.

Beberapa kali terdengar teriakan dari kelompok warga itu, “Bupati Pati Sudewo harus lengser” yang diikuti seruan bersama. “Turunkan Sudewo, turunkan Sudewo, turunkan Sudewo!”.

Kericuhan pun tidak terhindarkan kala massa yang emosi tak kunjung ditemui oleh Bupati Sudewo maupun pejabat lainnya. Massa melempari barisan polisi yang berada di dalam gerbang dengan botol air, sendal, sayur, dan barang-barang lain.

Polisi lantas membelas dengan menyemprotkan meriam air dan gas air mata ke arah pendemo. Tindakan polisi itu membuat pendemo berhamburan di jalanan. Menjauh dari gerbang kantor bupati.

Namun begitu, tuntutan warga tak surut. Mereka mendesak Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.

“Orang itu kalau sudah tidak dikehendaki dia memaksakan diri, pasti itu tidak baik. Pasti ada sesuatu, mungkin mengejar kepentingannya pribadi atau kepentingan kelompok gitu. Pola pikirnya itu bukan untuk demi rakyat,” ujar Teguh.

“Intinya kami sudah kompak satu perasaan, satu hati, sama-sama ditindas oleh bupati yang arogan.”

Samin Surosentiko

Gerakan warga Pati yang terjadi 13 Agustus lalu punya sejarah panjang, yang juga sama-sama dilatari oleh rasa ketidakadilan. Argumen ini dikatakan Enkrin Asrawijaya, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Jauh sebelum itu, kata Enkrin, pergolakan di Pati sudah muncul lewat sosok Samin Surosentiko yang menggagas ajaran Samin atau Saminisme.

Samin, yang lahir dari keluarga priyayi pada 1859 di Desa Kediren, memilih meninggalkan kehidupan priyayi dan menjadi petani.

Ia pun dikenal karena menyuarakan perlawanan tanpa kekerasan.

Pada masa hidupnya, Samin dan pengikutnya yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep menolak peraturan kolonial tidak adil, salah satunya adalah persoalan pajak yang dianggap hanya menguntungkan penguasa.

Bagi mereka, tanah adalah milik alam yang memberi kehidupan, bukan objek pajak yang bisa dipajaki seenaknya oleh penguasa.

Atas dasar pemikiran tadi, Samin dan kelompoknya menolak membayar pajak. Mereka juga tidak bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.

Pada 1907, Samin dan beberapa pengikutnya ditangkap pemerintah kolonial. Mereka lantas dibuang dan dijadikan buruh tenaga kerja paksa di Sawahlunto, Sumatra Barat.

Enkrin Asrawijaya berkata, salah satu bentuk perlawanan tanpa kekerasan itu juga tampak pada penggunaan bahasa.

“Orang-orang Samin kalau bertemu orang yang belum dikenal, mereka masih tertutup dan akan melakukan sedikit perlawanan dalam bahasa,” ujar Enkrin.

“Misalkan, mungkin ada orang bertanya umur mereka berapa, bisa jadi mereka akan menjawab, ‘umurku mung siji digawa sak lawase’ yang artinya umurku cuma satu dibawa selamanya. Ini masih saya temukan saat meneliti di sana,” kata Enkrin.

Meskipun Samin telah meninggal pada 1914, Enkrin menemukan bahwa ajaran-ajaran Samin tetap lestarikan di komunitas Sedulur Sikep, yakni hidup selaras dengan alam.

Sedulur Sikep

Prinsip untuk hidup selaras dengan alam dijalani komunitas adat Sedulur Sikep dengan bekerja sebagai petani. Ini adalah temuan dalam riset yang dikerjakan Ronald Adam, dosen sosiologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Keberadaan Sedulur Sikep tersebar di Jawa Tengah, mulai dari Kabupaten Blora, Kudus, Pati, Grobogan, Rembang, Bojonegoro, dan Ngawi.

Bagi Sedulur Sikep, sistem pertanian merupakan penopang ekonomi utama mereka, mengikuti karakter masyarakat agraris lainnya di Jawa.

Menurut ajaran mereka, menjadi petani bukan sekadar memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, namun menunjukkan hubungan yang saling menghormati dengan alam.

“Konsep mereka tentang Ibu Bumi, tanah memegang peranan sentral dalam kepercayaan Sedulur Sikep,” tulis Robert.

“Mereka menyebutnya, ‘Lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe’ [Tanah adalah milik bersama, air adalah milik bersama, kayu adalah milik bersama],” tulis Ronald Adam dalam penelitiannya yang berjudul Politik Keadilan Adat: Kasus Gerakan Sedulur Sikep di Jawa Tengah.

Itu alasan, menurut Ronald Adam, komunitas Sedulur Sikep bakal tergerak untuk melakukan perlawanan ketika melihat ancaman terhadap “Ibu Bumi” atau lingkungan tempat mereka hidup.

“Jadi basis perlawanannya bukan hanya ekonomi politik, tapi juga ada dimensi identitas di situ. Karena identitas Sedulur Sikep adalah hutan, pohon, dan Ibu Bumi,” tulisnya.

Salah satu perlawanan Sedulur Sikep yang paling besar terjadi ketika industri semen masuk ke ruang hidup mereka pada awal tahun 2000-an.

Di masa itu, pemerintah menerbitkan setidaknya 77 izin usaha pertambangan semen di Jawa, yang tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan, dan 52 desa dengan total luas izin usaha pertambangan mencapai 34.944,90 hektare.

Perusahaan PT Semen Gresik merupakan salah satu dari sekian banyak industri yang ekspansi pada 2005 di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah—yang rencananya bakal menambang di Pegunungan Kendeng.

Masalahnya, di Pegunungan Kendeng terdapat jaringan gua, mata air, sungai bawah tanah, danau, dan sumber air yang mengairi banyak rumpun pohon jati.

Selain itu, kawasan karst dari Pegunungan Kendeng yang terbuat dari batu kapur berpori, bisa menyerap dan menyimpan air yang berfungsi sebagai sumber irigasi utama pertanian dan cadangan air selama musim kemarau.

“Ekologi Pegunungan Kendeng sering digambarkan oleh penduduk setempat sebagai spons di mana pori-pori atau rekahan batuannya menyerap dan menyimpan air yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari,” tulis Ronald Adam dalam penelitiannya.

Jika lahan karst di Pegunungan Kendeng rusak, Sedulur Sikep dan banyak peneliti meyakini, pemulihan lingkungan bakal sulit terjadi karena kawasan itu merupakan formasi alami selama 470 juta tahun.

Kerusakan juga bakal berdampak jangka panjang terhadap lingkungan dan ekologi, baik di wilayah sekitarnya maupun di seluruh Jawa.

“Bagi masyarakat Sedulur Sikep di Pati, penolakan mereka terhadap pertambangan berkaitan dengan pemahaman mereka bahwa Pegunungan Kendeng sangat penting bagi sistem pertanian mereka di Sukolilo.”

Masyarakat Sedulur Sikep, menurut Ronald Adam, telah lama bergantung pada Pegunungan Kendeng sebagai sumber air untuk pertanian.

Maka kalau sumber mata air hilang, kehidupan dan mata pencaharian orang Sedulur Sikep pun sudah pasti terancam. Termasuk identitas mereka.

Catatan Ronald Adam, perlawanan Sedulur Sikep mengusir industri semen dari Pegunungan Kendeng dilakukan dari mengajukan gugatan hukum hingga menyemen kaki mereka dengan semen di depan Istana Merdeka, Jakarta.

“Kalau pertanyaan sejauh mana perlawanannya? Mereka menang di Mahkamah Agung, berhasil mengusir rencana pembangunan eksplorasi semen di Pegunungan Kendeng, Pati,” ucapnya.

Soal politik, Ronald Adam, bilang orang Sedulur Sikep ogah terlibat dalam politik praktis. Entah tergabung dalam struktur partai politik maupun berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah.

Namun, di sisi lain, terhadap pemimpin atau pejabat yang mereka anggap melenceng atau tidak berpihak pada rakyat kecil, mereka akan menyatakan penolakan

Perlawanan ‘golput’

Peneliti Enkrin Asrawijaya dan Ronald Adam berkata, sejarah panjang perlawanan di Pati itu menjadi pemantik bagi warga lain di luar kelompok Samin maupun Sedulur Sikep menghadapi situasi tertentu.

Salah satunya, pemilihan kepala daerah tahun 2011.

Kala itu, jumlah angka golongan putih (golput) di Pati menjadi yang tertinggi. Data Komisi Pemilihan Umum Daerah Pati mencatat 17.384 suara tidak memilih alias golput.

Berdasarkan riset bertajuk ‘Fenomena Golput Pada Pilkada Pati 2011’ yang diterbitkan pada 2013, perilaku golput di Kabupaten Pati pada Pilkada 2011 kental faktor politis dan ideologis.

Artinya, banyak masyarakat Pati kala itu tidak percaya adanya pemilu bisa menyejahterakan masyarakat.

Masyarakat Pati memang memiliki budaya politik yang terbuka sejak dulu, kata dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman.

“Kalau ada kemauan pasti disampaikan secara langsung, tanpa tedeng aling-aling kalau bahasa jawanya,” ujar Wahid.

Hal ini, kata dia, berbeda dengan budaya politik masyarakat Jawa Tengah lainnya, seperti Kedu, Magelang, Purworejo, Kebumen, dan Solo Raya.

Menurutnya sikap itu tercermin dari fenomena golput pada 2011 hingga perlawanan terhadap kotak kosong pada 2017.

“Ketika menyangkut harga diri, apapun akan mereka lakukan,” kata Wahid.

“Yang terjadi kali ini juga tidak bisa hanya dibaca soal pajak PBB saja, tapi ada persoalan lebih dari itu.

“Pajak menjadi akumulasi saja karena tuntutannya sampai ke pemakzulan. Ini membuktikan karakter masyarakat Pati,” ujar Wahid.

Wahid menilai tuntutan melengserkan Bupati Pati Sudewo dilatari faktor komunikasi yang buruk. Padahal semestinya, saat-saat ini menjadi masa “bulan madu” usai dilantik pada awal tahun ini.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sudewo menyulut amarah warga dengan menaikkan PBB-P2 sebesar 250%.

Dugaannya, selain perkara pajak, Sudewo sudah memicu konflik dengan sejumlah aparatur sipil negara dan tenaga honorer di Pati dengan memecat tanpa alasan kuat.

Isu pemecatan itu diungkap Pansus Hak Angket DPRD Pati baru-baru ini.

Mereka menemukan surat peringatan dari Badan Kepegawaian Negara yang tidak diindahkan Sudewo. Surat itu berisi pemberhentian 220 pegawai secara sepihak, tanpa pesangon dan rotasi jabatan yang dinilai tidak transparan.

Meskipun tak ditemukan keterlibatan langsung kelompok Sedulur Sikep dalam aksi unjuk rasa 13 Agustus lalu, sejarah panjang dan nuansa perlawanan di Pati menjadi “sumbu” perlawanan warga menolak kenaikan pajak PBB-P2. Ini dikatakan sosiolog Ronald Adam.

“Demonstrasi itu mungkin menegaskan kalau sebetulnya warga Pati secara umum sedari dulu punya nuansa perlawanan yang kuat terhadap sistem yang menindas,” katanya.

“Meskipun di wilayah lain punya kebijakan yang sama dalam menaikkan pajak, tapi sumbu perlawanannya tidak muncul.”

“Ketika terjadi di Pati, sumbunya terbakar, maka memori kolektif mereka sebagai suatu wilayah yang kuat dengan tradisi perlawanan itu muncul dan meledak di Pati,” paparnya.

Selain Pati, kenaikan PBB-P2 juga terjadi di sejumlah daerah: Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan; Kota Cirebon, Jawa Barat; Jombang, Jawa Timur; dan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Angka kenaikannya variatif, berkisar antara 200% hingga 1.000%.

Sejumlah pakar meyakini kenaikan ini disebabkan oleh dana transfer ke daerah dipangkas pemerintah pusat.

Pemerintah daerah disebut harus mencari akal agar memperoleh sumber pendapatan baru. Cara yang paling gampang, kata sejumlah ekonom, adalah dengan menaikkan pajak.

Ronald Adam, ragu pergolakan di Pati bakal ditiru atau menular ke daerah lain.

“Di Pati bibit perlawanan menolak pajak sudah ada sejak zaman kolonial,” ujarnya.

“Ini tidak bisa ditemukan di daerah lain sehingga corak perlawanan atau sumbu perlawanannya tidak akan seperti di Pati,” kata Ronald.

Setelah aksi, apakah warga bersedia memaafkan Bupati Sudewo?

Usai unjuk rasa 13 Agustus lalu, setidaknya ada 57 warga Pati mengalami luka-luka.

“Ada yang luka-luka, sesak napas, bahkan pertolongan jahitan akibat pecahan selongsong gas air mata,” kata pendamping warga Pati Safali dari LBH Semarang.

“Tindakan penembakan gas air mata oleh aparat kemarin cukup brutal karena juga menargetkan lokasi seperti masjid, ambulans bahkan sampai perkampungan warga,” kata Safali.

Salah satu yang menurutnya fatal, yakni penembakan ke masjid. Sebab pada waktu itu, di dalam masjid sedang dilaksanakan salat zuhur berjamaah.

Menurut data LBH Semarang, 57 warga dilarikan ke berbagai rumah sakit untuk mendapat pertolongan darurat. Di antara korban luka itu, klaim pengacara LBH Semarang, terdapat perempuan, anak-anak, lansia dan penyandang disabilitas.

Selain itu, 22 warga yang sempat ditahan polisi usai unjuk rasa. Sebagian dari mereka berkata mendapatkan kekerasan dari polisi.

Juru Bicara Polda Jateng, Kombes Artanto, mengakui penahanan 22 warga itu. Namun dia menuding orang-orang tersebut sebagai “provokator”.| HarmoniPost.Com | BBC | *** |

TAGGED:
Share This Article
1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *